Dasar
Argumen Pendapat Fritjof Capra tentang Titik Balik Peradaban
sebagai Akibat
dari Epistemology Cartesian Newtonian.
Fritjof
Capra memaparkan bahwa saat ini manusia tengah mengalami titik balik peradaban.
Ini terlihat dari menurunnya kemampuan modernitas dalam mencapai tujuan
kemanusiaan. Satu gerak yang terbarengi oleh dahaga spiritual dan kesadaran
ekologis atas tata hidup kita yang menjadi penyempurna kemanusiaan tersebut.
Modernitas yang pada awalnya menjadi alternatif tak mampu lagi mengangkat
kemanusiaan karena telah melenceng dari prinsip dasar kebudayaan. Telah terjadi
krisis multidimensional, yaitu dimensi-dimensi intelektual, moral, dan
spriritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan umat manusia.
Kini dimensi tersebut telah melahirkan berbagai fenomena sosial dan masyarakat
pada tingkat yang sangat memprihatinkan seperti kejahatan tindak kekerasan,
kecelakaan, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, cacat mental,
penyakit kejiwaan dan sebagainya. Dampak krisis terhadap lingkungan berupa
pencemaran akibat limbah kimia dan nuklir sebagaimana terjadi di negara-negara
maju.
Fritjof
Capra berargumen bahwa kepercayaan ala Descartes pada kebenaran ilmiah masih
tersebar luas pada saat ini tercermin dalam “scientism” yang telah menjadi ciri
kebudayaan barat. Penerimaan pandangan Cartesian sebagai kebenaran mutlak dan
sebagai satu-satunya cara shahih bagi pengetahuan telah memainkan peranan
penting dalam menghasilkan ketidakseimbangan budaya manusia sampati saat ini.
Selanjutnya, Capra mengatakan bahwa antara tahun 1500 dan 1700 itu terdapat
satu perubahan dramatis pada cara manusia dalam menggambarkan duniannya dan
cara berpikir mereka. Sebelum tahun 1500 pandangan dunia di eropa dan sebagian
peradaban lain bersifat organik, ditandai dengan saling ketergantungan antara
fenomena spiritual dan fenomena material dan prinsip bahwa kebutuhan masyarakat
umum lebih utama daripada kepentingan pribadi.
Pandangan abad pertengahan itu berubah
secara mendasar pada abad keenam belas dan ketujuh belas. Pengertian alam
semesta yang berbentuk organik digantikan oleh pengertian bahwa dunia laksana
sebuah mesin, dan mesin dunia itu kemudian menjadi metafora yang dominan pada
jaman modern. Perkembangan ini diakibatkan oleh perubahan-perubahan
revolusioner dalam ilmu fisika dan astronomi yang puncaknya pada prestasi yang
dicapai oleh Copernicus, Galileo, dan Newton. Fritjof Capra mengemukakan bahwa
krisis-krisis global tersebut dapat dilacak pada cara pandang dunia manusia
modern. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia
mekanistik-linier Cartesian dan Newtonian (disebut sebagai Paradigma
Cartesian-Newtonian). Nah, epistemology Cartesian-Newtonian inilah yang menurut
Fritjof Capra sebagai penyebab kemunduran peradaban, yakni ketika terjadinya
pemisahan antara jiwa dan raga (ruh dan materi) dari suatu pengetahuan serta
ketika diyakini bahwa kehidupan di bumi (dunia) ini seperti mesin.
Solusi
Menyelamatkan Peradaban Manusia Dewasa Ini
Solusi untuk menyelamatkan peradaban
dunia menurut saya adalah perlu dilakukan perubahan pada paradigma
Cartesian-Newtonian. Memang di satu sisi, Descartes dan Newton telah berhasil
memajukan ilmu pengetahuan (sains) khususnya fisika dan teknologi. Namun, di
sisi lain nilai-nilai sosial dan nilai-nilai lingkungan telah terabaikan,
sehingga terjadi titik balik peradaban. Oleh karena itu, diperlukan sebuah
paradigma baru yang meliputi visi baru tentang realitas, perubahan yang
mendasar pada pemikiran perubahan persepsi dan perubahan nilai budaya selama
ini. Diperlukan perubahan paradigma dalam menghadapi suatu realitas, bahwa
segala sesuatu yang ada di bumi/dunia ini saling berhubungan kalau tidak dikatakan
saling bergantung. Tidak ada pemisahan yang tegas antara jiwa dan raga, tidak
ada pemisahan fisik dan mental.
Sebagai orang yang berkutat dalam
dunia pendidikan, kita juga jangan sampai terjebak pada paradigma epsitemologi
Cartesian-Newtonian. Mengapa? Karena paradigma seperti itu telah melahirkan
berbagai persoalan yang sangat mendasar bagi pengembangan anak bangsa,
khususnya yang paling terasa ialah telah lahirnya generasi (output pendidikan)
yang berkepribadian instrumentalistik, materialistik, terkotak-kotak dan sempit
serta terbatas, dan sangat lemah dari segi karakter dan kepribadian bangsa dan
agama. Oleh karena itu, saya sependapat dengan Syaifuddin Sabda bahwa salah
satu alternatif paradigma yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan saat ini adalah
paradigma pendidikan yang holistik, yaitu pendidikan yang dibangun berdasarkan
asumsi connectedness, wholeness dan being fully human atau paradigma
pendidikan yang memandang pendidikan sebagai sebuah usaha sadar untuk
mengembangkan potensi manusia (anak didik) sesuai dengan potensinya
masing-masing sebagai manusia yang unik dan holistik (jasmani dan rohani yang
merupakan kesatuan) sebagai ciptaan Allah yang sempurna.
Sumber
Bacaan
Zulvalle. Titik Balik Peradaban Sains, Masyarakat, dan
Kebangkitan Kebudayaan. http://id.shvoong.com.
akan terus berulang dan bereinkarnasi, tentunya dan itu masuk akal bagi sy.
BalasHapus