Beranda

Senin, 04 Juni 2012

Jalan Ketiga Anthony Giddens


Jalan Ketiga menurut Anthony Giddens 
Anthony Giddens mengamati jalannya dunia sekarang ini dalam kondisi ketidakpastian. Ketidakpastian ini telah direkayasa oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya atau yang dikenal dengan istilah ”Manufactured Uncertainy”. Dia juga mengatakan bahwa dunia tanpa kendali, run away, yang mengakibatkan segala macam permasalahan. Untuk keluar dari semua itu, Giddens menyebut, (sekurang-kurangnya) ada lima dilema, yang harus dihadapi yakni, 1) globalisasi, 2) indivdualisme, 3) kiri-kanan (sosialisme-kapitalisme), 4) munculnya isu-isu ekologis (lingkungan), dan 5) subyek-pelaku politik (munculnya gerakan-gerakan baru).
            Dari kelima dilema inilah kemudian Giddens menawarkan “Jalan Ketiga”nya. Tawaran ”Jalan Ketiga” Giddens tidak sekadar pilihan antara sosialisme dan kapitalisme, antara negara dan pasar, tetapi lebih dari itu, suatu jalan untuk meredakan ketegangan antara risiko (high consequence risk) dan keamanan (ontological security). Tujuan umum dari ”Jalan Ketiga” adalah membantu anggota masyarakat merintis jalan mereka melalu revolusi utama. Karena itu, politik ”Jalan Ketiga” memandang bahwa globalisasi adalah positif. Namun, globalisasi juga harus diwaspadai karena dampaknya yang dasyat terutama dalam bidang ekonomi.
“Jalan ketiga” Giddens selanjutnya, yaitu individualisme memang berbahaya, tetapi tidak boleh begitu saja ditaklukan oleh kolektivisme. Di sini gunanya peran negara untuk mengendalikan kerakusan kapitalisme, tetapi juga tidak boleh sedemikian besar sehingga melumpuhkan minat investor atau menjadi negara totalliter. Industrialisme juga perlu untuk menstranformasi alam, tetapi harus dilakukan harus dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan faktor resiko yang ditimbulkan. Motto dalam politik ”Jalan Ketiga” adalah tak ada hak tanpa tanggung jawab. Pedoman yang kedua dalam politik ”Jalan Ketiga” adalah tak ada otoritas tanpa demokrasi. Maksudnya adalah pemerintah membangun kontak yang lebih langsung dengan masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat dengan pemerintah melalui eksperimen-eksperimen demokrasi.
Sebab-sebab mendasar gagasan jalan ketiga adalah analisis Giddens yang tajam mengenai semakin mengemukanya pasar global dan mundurnya perang berskala besar yang telah memepengaruhi struktur dan legitimasi pemerintah. Demikian juga sebab lainnya (sebenarnya sudah disinggung di atas) yang mencakup semakin meluasnya penyebaran demokratisasi, yang berkaitan erat dengan pengaruh tradisi dan adat istiadat yang tumpang tindih. Daya tarik demokrasi menurutnya bukanlah sepenuhnya (dan bukan terutama) muncul dari kemenangan institusi-institusi demokrasi liberal atas institusi-institusi lain, melainkan dari kekuatan-kekuatan yang lebih dalam yang membentuk kembali masyarakat global termasuk tuntutan atas otonomi individual dan munculnya masyarakat yang lebih reflektif.
Pendapat saya terhadap konsepsi “Jalan Ketiga” Gidden. Sebenarnya untuk memberikan pendapat tentang konsepsi “Jalan Ketiga” Gidden diperlukan pemahaman utuh (bukan sepenggal-sepenggal), tentunya dengan cara membaca bukunya secara langsung. Namun, karena keterbatasan maka jawaban berikut merupakan sebuah upaya mengumpulkan serpihan-serpihan tulisan yang termuat dalam beberapa website yang kemudian direduksi menjadi sebuah pendapat yang mungkin berupa serpihan juga.
Konsepsi Giddens tentang “Jalan Ketiga” menurut saya merupakan sesuatu yang sudah lama dibicarakan. Permasalahan globalisasi, individualisme, sosialisme-kapitalisme, lingkungan, dan politik memang kerap menjadi perdebatan yang muaranya pada penilaian atau pemihakan pada salah satunya dan yang kemudian apa yang dianggapnya sebagai masalah. Namun, dalam pandangan Giddens, hal tersebut dikupas dari sudut dilematisnya. Hal yang saya setujui adalah bahwa Giddens melihat kedua jalan itu ada benarnya dan ada salahnya juga. Misalnya, globalisasi. Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena, yaitu disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class (kelas pembuat aturan). Namun, hal yang masih belum sependapat adalah, ide-ide Giddens ini agak kurang dioperasionalkan, sehingga banyak yang menganggap apa yang ditulis Giddens sebagai hal yang utopis (tidak mungkin). Dan di Indonesia sendiri, sebenarnya ide Giddens ini sudah tersirat dalam konteks Negara Indonesia yang berdemokrasi Pancasila. Ya, Pancasila merupakan dasar Negara yang tidak menganut sosialis maupun kapitalis, meskipun kenyataannya sulit untuk diterapkan.
Teori Fukuyama dan Perilaku Politik Luar Negeri Amerika Serikat
Dalam bukunya “The End of History and the Last Man”, Francis Fukuyama menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan tujuan akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan bentuk final dari pemerintahan manusia. Pandangan ini muncul pascakekalahan sosialis-komunis yang ditandai runtuhnya Uni Soviet. Lebih lanjut Francis Fukuyama menjelaskan bahwa demokrasi liberal, sebagai sistem pemerintahan yang telah memperoleh legitimasi yang kuat di seluruh dunia, merupakan “the end of history”. Pada akhir sejarah, menurut Fukuyama, tak ada lagi tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada masa lalu, manusia menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa demokrasi liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme, totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, katanya, demokrasi liberal sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam. Jika ditanya pendapat saya, tentu saya tidak setuju dengan pendapat tersebut.
            Ada hal-hal menarik di lapangan yang mematahkan pendapat Fukuyama tersebut. Taruhlah Fukuyama menyatakan bahwa tidak ada tantangan ideologis lagi bagi demokrasi liberal pascaruntuhnya sosialis-komunis, tetapi banyak kebijakan-kebijakan Barat (Amerika) yang cenderung memandang Islam sebagai tantangan paling serius selanjutnya.  Apalagi pascaruntuhnya gedung kembar (WTC) di Amerika yang kemudian memunculkan jargon antiterorisme yang justru anehnya ditujukan pada umat Islam (lucu kan?). Perang terhadap terorisme inilah yang merupakan bukti perilaku politik luar negeri Amerika Serikat membenarkan teori yang diungkapkan oleh Fukuyama.

Sumber Bacaan
Adian Husaini. 2005.  The End of History atau The End of The West? http:// alislamu.com.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. 2009. Menelusuri Jalan Ketiga Anthony Giddens. http://ibnulkhattab.blogspot.com.
Anonim. 2011. Francis Fukuyama tentang Akhir Sejarah. http:// kampusbebeck. blogspot.com .
Anonim.  Anthony Giddens: Sang Pencari Jalan Lain. http://www.yudhieharyono.com.
Anonim. 2007. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. http://norpud.blogspot.com.
Ibrahim Rantau. 2010. Mengintip Kembali Jalan Ketiga. http://sosbud. kompasiana.com. 
M. Yudhi Haryono. 2009.  Giddens untuk Pemula. http://tokohbangsa.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar