Beranda

Kamis, 07 Juni 2012

MENGAPA MANUSIA HARUS BELAJAR


MENGAPA MANUSIA HARUS BELAJAR?
Oleh: Daryo Susmanto

Pertanyaan yang tersebut dalam judul ini sepertinya mudah dijawab. Namun, ternyata diperlukan sebuah pemahaman luas dan mendalam sebelum menjawabnya. Pun, untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan sebuah proses “belajar” seperti yang dimaksud dalam pertanyaan tersebut. Lalu, apa itu belajar dan mengapa manusia harus belajar? Sebagai jawaban awal atas pertanyaan tersebut, saya melihat sekelompok anak kecil sedang bermain sebagai mikroproyek. Kadang-kadang mereka rukun kadang mereka berengkar. Mereka rukun manakala aturan-aturan atau ide-ide bermain mereka pahami bersama dan disepakati bersama. Mereka bertengkar manakala ada aturan atau ketidaksesuaian ide di antara mereka. Dalam proses bertengkar disitulah ada proses belajar, baik belajar memahami aturan main, belajar memahami orang (teman) lain, maupun belajar menyelesaikan permasalahan tanpa mereka sadari itu sebagai proses belajar. Ketika mereka menemukan kesamaan ide atau aturan bermain dan kemudian mereka saling memahami satu sama lain maka akan tercipta kerukunan kembali. Nah keadaan rukun atau akur kembali itulah sebagai salah satu hasil dari proses belajar tadi.
Hal lain yang berkaitan dengan belajar adalah saya mengingat-ingat anak sendiri dari waktu lahir sampai sekarang. Bagaimana ia belajar (diajar) berbicara, belajar mengenal dirinya, saudaranya, keluarganya sampai lingkungan sekitarnya, belajar cara-cara berpakaian yang baik, cara-cara makan yang baik, dan bagaimana belajar yang baik. Setelah bermain dengan teman sepermainannya, ia akan banyak belajar termasuk belajar hal-hal yang dianggap menyimpang, misalnya kata-kata yang kasar dan sebagainya.
Dari kedua ilustrasi tersebut, lalu mengapa manusia harus belajar? Namun, sebelum menjawab mengapa manusia belajar, ada baiknya kita pahami sedikit konsepsi manusia itu sendiri.
Konsepsi Manusia
Mengapa konsep manusia didulukan? Hal ini karena subyek dari pertanyaan ini adalah manusia, bukan hewan atau lainnya. Dalam sebuah refenesi (http://id.wikipedia.org), manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran.
Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti "manusia yang tahu"), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan. Menurut pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah Swt, berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan dan berbeda dengan makhluk lainnya karena manusia memiliki akal. Mengenai kelebihan manusia atas makhluk lainnya dijelaskan dalam Al-Quran surah al-Israa’: 70.
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Israa’ [17]: 70)
Dalam surah yang lain, Allah juga berfirman mengenai kelebihan manusia dan berkaitan juga dengan konsep manusia yang berakal.
Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar [39]: 21).
Apa Itu Belajar
Dalam pengertian umum, belajar adalah mengumpulkan sejumlah pengetahuan.  Pengetahuan tersebut diperoleh dari seseorang yang lebih tahu atau yang sekarang ini dikenal dengan guru, baik guru secara formal maupun dalam pengertian informal.
Menurut Thorndike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba– coba (trial and error). Mencoba – coba ini dilakukan, manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan respon atas sesuatu. Dalam mencoba – coba ini seseorang mungkin akan menemukan respons yang tepat berkaitan dengan persoalan yang dihadapinya. Adapun menurut psikologi kognitif, belajar adalah suatu usaha untuk mengerti tentang sesuatu. Usaha untuk mengerti tentang sesuatu tersebut, dilakukan secara aktif oleh pembelajar. Keaktifan tersebut dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan, mengabaikan dan respon – respon lainnya guna mencapai tujuan.
Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian dan tingkah laku manusia dalam bentuk kebiasaan, penguasaan pengetahuan atau ketrampilan, dan sikap berdasarkan latihan dan pengalaman dalam mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan untuk mengumpulkan pengetahuan–pengetahuan melalui pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan kembali di waktu yang akan datang. Belajar berlangsung terus–menerus dan tidak boleh dipaksakan tetapi dibiarkan belajar bebas dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
Manusia Harus Belajar
Ya, mengapa manusia harus belajar. Hal ini karena belajar merupakan salah satu kebutuhan manusia. Bahkan ada ahli yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk belajar. Oleh karena manusia adalah makhluk belajar, maka sebenarnya di dalam dirinya terdapat potensi untuk diajar. Pada masa sekarang ini, belajar menjadi sesuatu yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, belajar adalah sebuah kewajiban juga.
Di dalam pandangan Islam, belajar atau secara umumnya pendidikan merupakan kegiatan yang diwajibkan bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita. Pendidikan juga berlangsung seumur hidup, tidak mengenal batas usia.
Intinya, dengan belajar manusia dapat berubah. Perubahan yang dimaksud bergantung terhadap apa yang dipelajarinya. Jika manusia belajar kebenaran dan kebaikan, maka ia akan berubah menjadi manusia yang benar dan penuh kebaikan. Jika ia belajar ketidakbenaran dan kejelekan, maka ia akan berubah menjadi manusia yang penuh dengan kemaksiatan.

INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA

PERTANYAAN SEPUTAR KONSEP INVESTASI SUMBER DAYA MANUSIA
    Sumber daya manusia mempunyai posisi yang sangat strategis bagi pembangunan bangsa dan Negara, Karena itu pembangunan sumber daya manusia menjadi salah satu indikator utama pembangunan nasional. Pembangunan sumber daya manusia ini bisa dilaksanakan melalui peningkatan pendidikan, sehingga pendidikan di katakan sebagai investasi sumber daya manusia atau “human investement”. Jelaskan konsep anda tentang investasi sumber daya manusia ini!
Jawaban
Sebelum menjawab apa itu investasi sumber daya manusia, akan saya uraikan dulu apa itu investasi. Investasi dapat diartikan sebagai penanaman uang atau barang di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memproleh keuntungan. Pada dasarnya, investasi adalah membeli suatu aset yang diharapkan di masa datang dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi. Investasi juga dapat dikatakan sebagai suatu penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa depan. Harapan pada keuntungan di masa datang merupakan kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan suatu investasi yang dilakukan.
Investasi dapat dilakukan bukan saja pada fisik, tetapi juga pada bidang non fisik. Investasi fisik meliputi bangunan pabrik dan perumahan karyawan, mesin-mesin dan peralatan, serta persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang jadi). Investasi non fisik meliputi pendidikan, pelatihan, migrasi, pemeliharaan kesehatan dan lapangan kerja. Investasi non fisik atau lebih dikenal dengan istilah investasi sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Penghasilan selama proses investasi ini sebagai imbalannya dan diharapkan memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi untuk mampu mencapai tingkat konsumsi yang lebih tinggi pula. Investasi yang demikian disebut dengan human capital.
Lalu, apa itu investasi sumber daya manusia (human investment)? Investasi di bidang sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Investasi ini berperan dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Investasi modal manusia melalui pendidikan di Negara berkembang sangat diperlukan walaupun investasi di bidang pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Secara makro, manfaat dari investasi ini baru dapat dirasakan setelah puluhan tahun.
Sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi selain sumber daya alam, modal, entrepreneur untuk menghasilkan output. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarah mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah.Penekanan pada investasi manusia diyakini merupakan basis dalam meningkatkan produktivitas faktor produksi secara total. Tanah, tenaga kerja, modal fisik bisa saja mengalami diminishing return, namun ilmu pengetahuan tidak.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perlunya mengembangkan tingkat pendidikan di dalam usaha untuk membangun perekonomian suatu bangsa dan negara, yaitu sebagai berikut.
a.   Pendidikan yang lebih tinggi memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Hal ini memungkinkan masyarakat mengambil langkah yang lebih rasional dalam bertindak atau mengambil keputusan.
b.   Pendidikan memungkinkan masyarakat mempelajari pengetahuan-pengetahuan teknis yang diperlukan untuk memimpin dan menjalankan perusahaan-perusahaan modern dan kegiatan-kegiatan modern lainnya.
c.   Pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan menjadi perangsang untuk menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang teknik, ekonomi dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya.
Dengan demikian tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin
perbaikan yang terus berlangsung dalam tingkat teknologi yang digunakan masyarakat. Oleh karena itu, tepatlah kiranya jika pendidikan dikatakan sebagai investasi sumber daya manusia (human investment).
Investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi. Fungsi tersebut terdiri atas fungsi teknis ekonomis, fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
a.    Dalam fungsi teknis ekonomis, pendidikan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi (teori modal manusia). Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasil ekonomi nasionalnya akan tumbuh lebih tinggi..
b.    Dalam fungsi sosial-kemanusiaan investasi pendidikan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya, pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
c.    Dalam fungsi politis investasi pendidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demokratis.
d.    Dalam fungsi budaya investasi pendidikan merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
e.    Dalam fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Itulah sebabnya mengapa pembangunan sumber daya manusia dilaksanakan melalui peningkatan pendidikan sehingga pendidikan dikatakan sebagai investasi sumber daya manusia.

Senin, 04 Juni 2012

Globalisasi Ekonomi

Globalisasi Ekonomi Menurut Kenichi Ohmae 
Melahirkan Pasar Bebas Tanpa Batas
Dalam era globalisasi ekonomi, para pelaku ekonomi, yaitu para pengusaha (saudagar), menjadi kekuatan yang daya jangkaunya melewati batas-batas negara, bahkan meminimalkan peran negara. Negara menjadi tidak berdaya, dikebiri perannya, bahkan hingga ditundukkan di bawah kekuatan para pengusaha. Tunduknya negara pada kekuatan ekonomi dunia yang tak terbatasi membuat negara kemudian tampil tidak lagi melindungi warganya, tetapi melindungi para pengusaha, yakni para pelaku ekonomi perusahaan-perusahaan multinasional (MNC/multinational corporations). Akibatnya, warga atau masyarakat yang ada di bawah kekuasaan negara menjadi korban utamanya.
Jika melihat fenomena seperti itu, bisa jadi globalisasi merupakan kutukan bagi Negara atau masyarakat yang lemah atau tidak mempunyai sumber daya yang berdaya tawar tinggi. Negara saja tidak mampu mengatur kegiatan ekonomi, Negara saja tidak mampu menahan gempuran-gempuran keserakahan globalisasi, bagaimana dengan masyarakat lemah/kecil yang sama sekali tidak memiliki akses untuk bersaing dengan gurita-gurita raksasa.
Tunduknya negara berarti pesta-pora bagi para saudagar. Sektor-sektor ekonomi negara dikuasai MNC. Warga negara yang kemudian menjadi korban utama, karena sektor-sektor ekonomi yang seharusnya melibatkan mereka dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional.
Kenichi Ohmae mengatakan, globalisasi akan mengakibatkan hilangnya peran negara (the end of the nation state). Namun, nyatanya hingga detik ini negara di dunia masih tetap ada dan bertahan, tidak ada yang bubar gara-gara globalisasi. Posisi tawar negara sebenarnya masih kuat. Ini mestinya bisa digunakan sebagai senjata negosiasi negara melawan globalisasi yang membuat masyarakat menderita, tidak terlindungi.
Bagaimana caranya negara khususnya Negara dunia ketiga tetap berwibawa, berdaulat, dan kuat, tidak menjadi centeng kekuatan ekonomi multinasional, tetapi justru memanfaatkan mereka untuk kepentingan masyarakatnya?
Menantang para pengusaha multinasional tidak harus dengan cara ekstrem dengan cara menutup atau mengisolasi diri, dan tidak mau menerima investor asing. Pemerintah juga tidak perlu terlalu terbuka hingga menjadi centeng bagi para pengusaha multinasional itu, yang berarti mengorbankan masyarakat. Pada intinya negara harus kuat jika ingin membendung efek negatif globalisasi bagi warga negara. Itu berarti negara harus tetap ada dan bertahan. Negara tidak boleh lenyap karena globalisasi.
      b.   Globalisasi Melahirkan Kehampaan (Nothing) menurut George Ritzer
            Teori-teori George Ritzer dalam buku terbarunya yang provokatif, Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi atau Globalisasi Ketiadaan, bahwa “narasi besar” atau kisah masyarakat pada zaman ini, merupakan sebuah gerakan dari “sesuatu” menuju “ketiadaan”. Dengan mengandalkan namun melampaui tesis McDonaldisasinya yang termashyur, Ritzer berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat di bumi ini terus bergerak dari “sesuatu”, yang didefenisikan sebagai sebuah bentuk sosial yang umumnya dipahami sebagai, dikontrol secara likal, dan kaya akan isinya yang khas. Ritzer memperlihatkan bahwa kita sedang bergerak menuju “ketiadaan”  yang dikontrol dan disusun secara terpusat dan relatif tanpa substansi yang khas. Dalam gerakan menuju globalisasi “ketiadaan” inilah implikasinya “sesuatu” menjadi hilang. Lebih dari itu, bahwa “sesuatu” merupakan sebuah kebiasaaan asli, sebuah toko lokal, sebuah tempat berkumpul yang akrab, atau interaksi yang personal.
                        Ketika transaksi-transaksi (hubungan sosial) dilakukan tanpa tatap muka langsung, juga merupakan gejala kehampaan. Masyarakat atau manusia sudah kehilangan substansinya sebagai makhluk sosial. Jadi, persoalan utama di dunia saat ini didefenisikan sebagai “kehilangan di tengah-tengah kelimpahan monumental (dari ketiadaan).
                        Implikasi lainnya bagi peradaban manusia adalah dalam terjadi pola hidup konsumerisme, individualisme, dan gaya hidup hedonis lainnya. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan maraknya mal-mal serta gerai-gerai makanan siap saji (KFC, McDonald, dll) kita akan terkesan mengkonsumsi sesuatu yang hampa karena semua dikerjakan dalam standar yang sama , tidaka ada keunikan/kekhasan apa yang kita konsumsi sehingga kita kehilangan substansi dari sebuah konsumsi. Tentunya ini sebuah realitas yang sulit dihindari, namun agar kita tidak terjebak pada pola yang dimaksud oleh George Ritzer adalah dengan terus mengembangkan interaksi sesama manusia. Interaksi atau lebih bagusnya lagi silaturahmi akan membuat kita tidak kehilangan “kemanusiaan kita”. Kalau setiap transaksi kita hanya diam menunggu mesin penghitung yang menghitung, menunggu masakan yang rasa asin atau pedasnya sudah pasti sama, maka saat itulah kita kehilangan sisi kemanusiaannya, kita akan sama dengan mesin penghitung di mal-mal dan bahkan kita tunduk pada mesin-mesin tersebut.   

Sumber Bacaan
Fajar Kurnianto. 2011. Negara dan Globalisasi Ekonomi. http:// fajar83kurnianto.blogspot.com.
Harwan AK. 2011. Mengkonsumsi Kehampaan: George Titzer dan Sponge Bob Squarepant. http://weliveby.blogspot.com. 
Patta Hindi. 2011. Menuju Masyarakat Konsumsi. http://lifestyle.kompasiana.com.

Benturan Peradaban

Benturan Peradaban menurut Huntington

Dalam artikel yang berjudul “The Clash of Civilizations, Huntington mencoba menawarkan paradigma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada tujuh peradaban yang akan mewarnai persaingan global: Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox. Ia memprediksikan akan terjadi konflik di level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer.
Kemenangan ideologi liberalisme demokratik atas sosialisme menimbulkan kepercayaan diri yang luar biasa di kalangan masyarakat Barat, sehingga mereka menganggap ideologinya bersifat universal. Barat, khususnya Amerika Serikat, kemudian menjadi bangsa misionaris yang memaksa bangsa-bangsa non-Barat mau menerapkan nilai-nilai demokrasi Barat, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, menjunjung tinggi HAM, individualisme, aturan hukum, serta pemisahan agama dan Negara. Kondisi ini jelas berbeda dengan nilai-nilai dalam budaya Islam, Konghucu, Jepang, Hindu, Budha, ataupun Ortodoks. Jika, Barat terus memaksakan “perasaannya” sebagai Negara dengan peradaban yang terbaik dan benar, maka bisa menimbulkan konflik antarperadaban. Atau jika,  setiap peradaban yang diklasifikasikan oleh Huntington merasa paling benar, maka konflik antar peradaban bisa saja terjadi.
Selanjutnya Huntington mengatakan bahwa peradaban dapat berbenturan dalam dua level. Dalam level mikro, peradaban berbenturan di garis-garis persinggungan (fault lines). Dalam level makro, negara dengan peradaban yang berbeda saling bertarung kekuasaan, kekuatan, kapabilitas militer dan ekonomi, bertarung pengaruh dan kontrol dalam organisasi internasional dan pihak tiga, maupun secara komptitif mempromosikan nilai maupun agenda politik dan agama masing-masing.
Fault lines menggantikan perang pengaruh dan lokasi sumber konflik pada era Perang Dingin. Konflik di daerah fault lines, misalnya antara peradaban Barat dan peradaban Islam telah berlangsung lebih dari 1300 tahun. Konflik antarperadaban menjadi semakin intensif  sehingga selalu identik dengan kekerasan.
Solusi terhadap benturan peradaban antara lain: untuk menciptakan solidaritas global harus dimulai dari upaya saling mengenal. Hal lain yang sangat penting adalah mengenali “musuh bersama” dan problem-problem bersama. Demo anti Perang AS atas Irak menjadi sinyal positif bagi peluang kerjasama antar orang-orang yang punya semangat menciptakan kerukunan dari berbagai belahan dunia.
Pandangan terhadap Hubungan antara Barat dan Islam dewasa ini
Interaksi dunia Islam dengan Barat seringkali dikemukakan dalam pengertian yang kontras, bahkan tidak jarang diikuti munculnya stereotip negatif dari kedua belah pihak dan menganggapnya sebagai musuh. Ungkapan-ungkapan seperti: “orang Kristen melawan orang Islam, salib melawan bulan sabit, agama Kristen melawan agama Islam, dunia Islam adalah ancaman bagi Barat, Barat adalah musuh Islam”, adalah cerminan dari interkasi yang beraroma kontras tersebut. Kesan interaksi yang kontras tersebut sebagian diperkuat dan didukung oleh pernyataan sejumlah pemimpin agama maupun politik. Media massa, disadari atau tidak, ikut pula terjerumus ke dalam propaganda ini, sehingga muncul sikap saling tidak percaya dan saling curiga. Bahkan, buku Huntington tentang benturan peradaban ikut menyumbang besar dalam hubungan Islam dan Barat yang kontras tersebut. Mengapa Huntington tidak berani menegaskan sekalian bahwa benturan peradaban akan terjadi hanya antara Barat dan Islam. Hal ini hanya untuk memberikan kesan artikelnya sebagai makalah ilmiah yang obyektif.
Hubungan Islam dan Barat semakin kontras ketika Uni Soviet dengan Sosialis-Komunis yang saat itu dianggap musuh dalam Perang Dingin, mengalami keruntuhannya. Maka semakin kuatlah legitimasi Barat bahwa peradaban merekalah yang paling benar. Kemudian, Barat kembali fokus kepada “Musuh Lama” nya, yaitu Islam dengan mengambil jargon Terorisme yang diperkuat oleh momentum 11 September (WTC). Lihatlah bagaimana Barat (Amerika dan sekutunya) dengan legitimasi demokrasi, HAM, Memberantas Terorisme menyerang Negara-negara Arab (Muslim) hanya untuk alasan yang kadang tidak jelas. Mereka menyerang Irak, Afganistan, Libya, dan Negara-negara (Muslim) lainnya. Sementara, di Israel-Palestina, Barat diam saja dan terkesan tidak menyetujui. Bahkan, mereka menolak Palestina untuk bergabung menjadi anggota PBB. Sungguh sangat jelas bahwa orang-orang kafir, nasrani, yahudi akan berpadu sampai Islam itu hancur.
Sumber Bacaan
Anwari WMK. 2010. Islam versus Barat?. http://anwariwmk.wordpress.com.
Misbahul Hasan. 2006. Membincang Benturan Antarperadaban. http:// antinekolib.blogspot.com.
Misbahul Hasan. 2010. Membangun Benturan Antar Peradaban Huntington. http://www.facebook.com.
Muhammad Lazuardi al-Jawi. 2007. Benturan Peradaban Islam VS Barat. http://khilafahislam.multiply.com.
Sholihan. Islam dan Barat di Era Pasca Perang Dingin dan Globalisasi: Konflik atau Damai?. http://www.wmc-iainws.com. 
Zainal Abidin Bagir. 2011. Menguji the Clash of Civilizations Samuel P. Huntington. http://crcs.ugm.ac.id.

Jalan Ketiga Anthony Giddens


Jalan Ketiga menurut Anthony Giddens 
Anthony Giddens mengamati jalannya dunia sekarang ini dalam kondisi ketidakpastian. Ketidakpastian ini telah direkayasa oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya atau yang dikenal dengan istilah ”Manufactured Uncertainy”. Dia juga mengatakan bahwa dunia tanpa kendali, run away, yang mengakibatkan segala macam permasalahan. Untuk keluar dari semua itu, Giddens menyebut, (sekurang-kurangnya) ada lima dilema, yang harus dihadapi yakni, 1) globalisasi, 2) indivdualisme, 3) kiri-kanan (sosialisme-kapitalisme), 4) munculnya isu-isu ekologis (lingkungan), dan 5) subyek-pelaku politik (munculnya gerakan-gerakan baru).
            Dari kelima dilema inilah kemudian Giddens menawarkan “Jalan Ketiga”nya. Tawaran ”Jalan Ketiga” Giddens tidak sekadar pilihan antara sosialisme dan kapitalisme, antara negara dan pasar, tetapi lebih dari itu, suatu jalan untuk meredakan ketegangan antara risiko (high consequence risk) dan keamanan (ontological security). Tujuan umum dari ”Jalan Ketiga” adalah membantu anggota masyarakat merintis jalan mereka melalu revolusi utama. Karena itu, politik ”Jalan Ketiga” memandang bahwa globalisasi adalah positif. Namun, globalisasi juga harus diwaspadai karena dampaknya yang dasyat terutama dalam bidang ekonomi.
“Jalan ketiga” Giddens selanjutnya, yaitu individualisme memang berbahaya, tetapi tidak boleh begitu saja ditaklukan oleh kolektivisme. Di sini gunanya peran negara untuk mengendalikan kerakusan kapitalisme, tetapi juga tidak boleh sedemikian besar sehingga melumpuhkan minat investor atau menjadi negara totalliter. Industrialisme juga perlu untuk menstranformasi alam, tetapi harus dilakukan harus dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan faktor resiko yang ditimbulkan. Motto dalam politik ”Jalan Ketiga” adalah tak ada hak tanpa tanggung jawab. Pedoman yang kedua dalam politik ”Jalan Ketiga” adalah tak ada otoritas tanpa demokrasi. Maksudnya adalah pemerintah membangun kontak yang lebih langsung dengan masyarakat, dan sebaliknya, masyarakat dengan pemerintah melalui eksperimen-eksperimen demokrasi.
Sebab-sebab mendasar gagasan jalan ketiga adalah analisis Giddens yang tajam mengenai semakin mengemukanya pasar global dan mundurnya perang berskala besar yang telah memepengaruhi struktur dan legitimasi pemerintah. Demikian juga sebab lainnya (sebenarnya sudah disinggung di atas) yang mencakup semakin meluasnya penyebaran demokratisasi, yang berkaitan erat dengan pengaruh tradisi dan adat istiadat yang tumpang tindih. Daya tarik demokrasi menurutnya bukanlah sepenuhnya (dan bukan terutama) muncul dari kemenangan institusi-institusi demokrasi liberal atas institusi-institusi lain, melainkan dari kekuatan-kekuatan yang lebih dalam yang membentuk kembali masyarakat global termasuk tuntutan atas otonomi individual dan munculnya masyarakat yang lebih reflektif.
Pendapat saya terhadap konsepsi “Jalan Ketiga” Gidden. Sebenarnya untuk memberikan pendapat tentang konsepsi “Jalan Ketiga” Gidden diperlukan pemahaman utuh (bukan sepenggal-sepenggal), tentunya dengan cara membaca bukunya secara langsung. Namun, karena keterbatasan maka jawaban berikut merupakan sebuah upaya mengumpulkan serpihan-serpihan tulisan yang termuat dalam beberapa website yang kemudian direduksi menjadi sebuah pendapat yang mungkin berupa serpihan juga.
Konsepsi Giddens tentang “Jalan Ketiga” menurut saya merupakan sesuatu yang sudah lama dibicarakan. Permasalahan globalisasi, individualisme, sosialisme-kapitalisme, lingkungan, dan politik memang kerap menjadi perdebatan yang muaranya pada penilaian atau pemihakan pada salah satunya dan yang kemudian apa yang dianggapnya sebagai masalah. Namun, dalam pandangan Giddens, hal tersebut dikupas dari sudut dilematisnya. Hal yang saya setujui adalah bahwa Giddens melihat kedua jalan itu ada benarnya dan ada salahnya juga. Misalnya, globalisasi. Salah satu karakter globalisasi sendiri adalah semakin kaburnya border dan akses atas informasi yang kian tak terbatas. Arus informasi yang tak terbatas ini ternyata tidak dibarengi oleh penyelesaian tiga fenomena, yaitu disparitas kaya-miskin, destruksi lingkungan, dan penindasan oleh ruling class (kelas pembuat aturan). Namun, hal yang masih belum sependapat adalah, ide-ide Giddens ini agak kurang dioperasionalkan, sehingga banyak yang menganggap apa yang ditulis Giddens sebagai hal yang utopis (tidak mungkin). Dan di Indonesia sendiri, sebenarnya ide Giddens ini sudah tersirat dalam konteks Negara Indonesia yang berdemokrasi Pancasila. Ya, Pancasila merupakan dasar Negara yang tidak menganut sosialis maupun kapitalis, meskipun kenyataannya sulit untuk diterapkan.
Teori Fukuyama dan Perilaku Politik Luar Negeri Amerika Serikat
Dalam bukunya “The End of History and the Last Man”, Francis Fukuyama menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan tujuan akhir dari evolusi ideologi umat manusia dan bentuk final dari pemerintahan manusia. Pandangan ini muncul pascakekalahan sosialis-komunis yang ditandai runtuhnya Uni Soviet. Lebih lanjut Francis Fukuyama menjelaskan bahwa demokrasi liberal, sebagai sistem pemerintahan yang telah memperoleh legitimasi yang kuat di seluruh dunia, merupakan “the end of history”. Pada akhir sejarah, menurut Fukuyama, tak ada lagi tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada masa lalu, manusia menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa demokrasi liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme, totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, katanya, demokrasi liberal sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam. Jika ditanya pendapat saya, tentu saya tidak setuju dengan pendapat tersebut.
            Ada hal-hal menarik di lapangan yang mematahkan pendapat Fukuyama tersebut. Taruhlah Fukuyama menyatakan bahwa tidak ada tantangan ideologis lagi bagi demokrasi liberal pascaruntuhnya sosialis-komunis, tetapi banyak kebijakan-kebijakan Barat (Amerika) yang cenderung memandang Islam sebagai tantangan paling serius selanjutnya.  Apalagi pascaruntuhnya gedung kembar (WTC) di Amerika yang kemudian memunculkan jargon antiterorisme yang justru anehnya ditujukan pada umat Islam (lucu kan?). Perang terhadap terorisme inilah yang merupakan bukti perilaku politik luar negeri Amerika Serikat membenarkan teori yang diungkapkan oleh Fukuyama.

Sumber Bacaan
Adian Husaini. 2005.  The End of History atau The End of The West? http:// alislamu.com.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. 2009. Menelusuri Jalan Ketiga Anthony Giddens. http://ibnulkhattab.blogspot.com.
Anonim. 2011. Francis Fukuyama tentang Akhir Sejarah. http:// kampusbebeck. blogspot.com .
Anonim.  Anthony Giddens: Sang Pencari Jalan Lain. http://www.yudhieharyono.com.
Anonim. 2007. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. http://norpud.blogspot.com.
Ibrahim Rantau. 2010. Mengintip Kembali Jalan Ketiga. http://sosbud. kompasiana.com. 
M. Yudhi Haryono. 2009.  Giddens untuk Pemula. http://tokohbangsa.wordpress.com