Beranda

Selasa, 31 Juli 2012

PANDANGAN AL-GHOZALI TENTANG MANUSIA

Pandangan Al-Ghozali tentang Manusia
1. Esensi Manusia
Secara filosofis, memandang manusia artinya berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, yakni struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya. Jika dipahami manusia sebagai makhluk historis, ia senantiasa berubah dari masa ke masa, baik pola pikirnya maupun pola hidupnya. Oleh karena itu, manusia dalam kurun waktu tertentu berbeda dengan kurun waktu lainnya. Dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, perbedaan tersebut terletak hanya pada unsur dan sifatnya yang kasat mata, sedangkan hakikatnya adalah sama.
Sebagai filsuf Muslim yang hidup di abad pertengahan, Al-Ghozali tidak terlepas dari kecenderungan umum zamannya dalam memandang manusia. Karya-karyanya yang mengupas tentang manusia dapat dipahami bahwa esensi manusia adalah jiwanya. Jiwa merupakan identitas tetap manusia. Jiwa manusia merupakan substansi immaterial yang berdiri sendiri, ia tidak terdiri dari unsur-unsur yang membentuknya sehingga ia kekal dan tidak hancur.
Dalam Ihya Ulumiddin, Al-Ghozali menggunakan empat istilah dalam membahas tentang esensi manusia, yaitu:
1) Hati (qalb) ialah yang halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian, ia dengan hati yang bertubuh ada hubungannya. Yang halus itu adalah hakikat manusia.
2)  Ruh adalah yang halus, yang mengetahui, dan yang merasa dari manusia
3) Jiwa (nafs) yaitu yang halus, yakni hakikat manusia diri dan zatnya.
4) Akal (aql) kadang ditujukan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan, dan itu adalah hati yakni yang halus. Kadang ditujukan dan dimaksudkan sifat orang yang berilmu, dan kadang ditujukan dan dimaksudkan tempat pengetahuan yakni yang mengetahui.

Penggunaan keempat istilah tersebut menunjukkan bahwa kajian AL-Ghozali terhadap esensi manusia begitu mendalam, menyertai sepanjang perkembangan pemikirannya. Saat berbicara tentang filsafat, ia lebih sering menggunakan kata nafs dan akal. Sedangkan ruh dan qalb lebih banyak dijumpai dalam kitab-kitabnya yang ditulis setelah menekuni tasawuf. Namun, hal ini tidak mengubah pandangannya tentang esensi manusia. Hal ini kemungkinan besar didasari oleh keinginannya menggabungkan konsep-konsep filsafat, tasawuf, dan syara’ sebab kata nafs dan akal sering digunakan para filosuf sementara kata qalb dan ruh sering digunakan para sufi. Sedang dalam Al-Quran, kata ruh, nafs, dan qalb digunakan untuk kesadaran manusia, jiwanya. 
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa jiwa itu bersifat immaterial, maka dengan sendirinya ia tidak mengambil tempat sebab yang bertempat adalah yang bersifat material. Inilah sifat dasar esensi manusia. Oleh karena itu, Al-Ghozali menolak pandangan bahwa jiwa itu di luar badan, sebab jika demikian ia tidak mungkin mengatur badan. Namun, ia pun tidak  berada di dalam badan sebab kalau demikian ada dua kemungkinan, keberadaannya di seluruh badan atau di sebagian saja. Menurutnya hal ini tidak mungkin.

Sumber: Abidin Ibnu Rusn. 1998. Pemikiran Al-Ghozali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar